Be Inspiring Teacher

Minggu, 14 Januari 2018

PENINGKATAN KECERDASAN EMOSIONAL WIDYAISWARA



"Saat ini dunia pendidikan di Indonesia mengalami krisis kecerdasan emosional," kata Rahmawati Habie dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (5/10). (http://www.republika.co.id).

Pendapat tersebut di dasari dari kasus kematian pelajar SMA Budi Luhur Bogor dalam duel ala gladiator. Menurut Rahmawati, masalah yang terjadi sangat berhubungan dengan kecerdasan emosional, yaitu kemampuan untuk mengontrol emosi dengan baik dan berempati. Bila pengembangan kecerdasan emosional dilakukan dengan benar, maka hal tersebut dapat membantu dan meningkatkan proses pembelajaran. "Siswa yang memiliki kecerdasan emosi stabil, mampu mengendalikan amarah dan dapat memecahkan masalah antarpribadi sehingga secara signifikan dapat mempengaruhi prestasi belajar pada setiap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah," paparnya.

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik bidang Sosial Masyarakat dari Universitas Indonesia, Sri Handiman Supyansuri mengatakan, kini banyak kalangan remaja dan pemuda yang mengalami krisis pengendalian diri. Hal itu terjadi, akibat minimnya pembelajaran tentang kecerdasan emosional yang diajarkan di sekolah. Menurut Sri Handiman, sekolah saat ini cenderung hanya mengajarkan hal-hal yang sangat standar terkait pendidikan, sehingga menyulitkan siswa untuk melihat serta belajar tentang pengendalian diri. Di sisi lain, banyak keluarga yang kurang peduli terhadap pendidikan emosional anak-anaknya sehingga tidak ada figur yang bisa menjadi teladan anak dalam mengendalikan dirinya.

Kecerdasan emosional pertama kali muncul dalam sebuah karya tulis Michael Beldoch pada 1964, dan pada 1966 dalam karya tulis B Leuner. Emotional intelligence (EI) atau emotional quotient (EQ) didefinisikan sebagai kemampuan seseorang mengendalikan emosi pada diri sendiri dan orang lain.
Seseorang yang memiliki EQ baik atau tinggi dapat memisahkan berbagai emosi dan menggunakannya sebagai bahan pemikiran juga perilaku diri sendiri. EQ dinilai dapat memberikan keuntungan dalam bersikap, bahkan dalam berkarier.

Banyak pengamatan menunjukkan bahwa orang-orang yang amat cerdas belum tentu memiliki kecakapan dalam menangani orang lain dan perasaannya sendiri. Bahkan ini merupakan satu alasan mengapa kecerdasan bukanlah faktor tunggal yang menentukan keberhasilan. Penelitian bahkan mengungkap, 90 persen orang yang berada di puncak kesuksesan terbukti memiliki kecedasan emosional yang tinggi (http://nationalgeographic.co.id). Hal ini terjadi karena seseorang yang memiliki EQ tinggi adalah orang-orang yang mampu mengatasi konflik.

Kecerdasan emosional tidak hanya berfungsi untuk mengendalikan diri, tetapi lebih dari itu juga, mencerminkan dalam mengelola ide, konsep, karya atau produk sehingga hal itu menjadi minat bagi orang banyak. Kecerdasan emosional bekerja secara sinergis dengan keterampilan kognitif. Tanpa kecerdasan emosional, orang tidak akan bisa menggunakan kemampuan-kemampuan kognitif mereka sesuai dengan potensi maksimum.

Kecerdasan emosional didefinisikan sebagai kemampuan untuk melihat, memahami, dan mengelola emosi diri sendiri, emosi orang lain, dan emosi sekelompok orang (Paul Sloane, 2010). Salovey dan Mayer menggambarkan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk merasakan emosi, mengintegrasikan emosi untuk memfasilitasi pemikiran, memahami dan mengatur emosi untuk membantu perkembangan pribadi (Goleman, 2005).

Menurut teori Goleman tingkat kecerdasan emosional dapat dikelompokkan ke dalam empat dimensi (Sloane, 2010), yaitu:

1.  Kesadaran diri sendiri – Kemampuan untuk memahami emosi diri sendiri dan mengenali dampaknya
Kemampuan seseorang sangat tergantung kepada kesadaran dirinya sendiri, juga sangat tergantung kepada pengendalian emosionalnya. Apabila seseorang dapat mengendalikan emosinya dengan sebaik-baiknya, memanfaatkan mekanisme berpikir yang tersistem dan kontruksi dalam otaknya, maka orang tersebut akan mampu mengendalikan emosinya sendiri dan menilai kapasitas dirinya sendiri. Orang dengan kesadaran diri yang tinggi, akan memahami betul tentang impian, tujuan, dan nilai yang melandasi perilaku hidupnya.

Apabila seseorang telah mengetahui akan dirinya sendiri, maka akan muncul pada dirinya kesadaran akan emosinya sendiri, penilaian terhadap dirinya secara akurat, dan percaya akan dirinya sendiri. 

2.      Pengelolaan diri sendiri – Kemampuan untuk mengendalikan emosi dan suasana hati diri sendiri
Seseorang sebelum mengetahui atau menguasai orang lain, ia harus terlebih dahulu mampu memimpin atau menguasai dirinya sendiri. Orang tersebut harus tahu tingkat emosional, keunggulan, dan kelemahan dirinya sendiri. Apabila tingkat emosional tidak disadari, maka orang tersebut akan selalu bertindak mengikuti dinamika emosinya. Manakala kebetulan resonansi yang dipancarkan dari amygdale-nya, maka gelombang positif yang dapat ditangkap oleh orang lain secara efektif, dan komunikasi pun dapat berjalan dengan baik. Tetapi manakala yang terpancar dari amygdale-nya disonansi, maka yang dapat ditangkap oleh orang lain hanyalah kemarahan dan emosional yang tak terkendali, akhirnya komunikasi tidak berjalan dengan baik.

Untuk menciptakan tingkat kompetensi pengelolaan diri sendiri yang tinggi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu pengontrolan terhadap diri sendiri, transparansi, penyesuaian diri, pencapaian prestasi, inisiatif, dan optimistis. 

3.      Kesadaran sosial – Kemampuan untuk melihat dan memahami emosi orang lain
Sebagai makhluk sosial, kita harus dan selalu berhubungan dan bergesekan dengan orang lain, baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat, karena kita tidak akan dapat hidup sendiri tanpa orang lain.
Oleh karena itu, semua orang harus memiliki kesadaran sosial, dan apabila seseorang telah mempunyai kesadaran sosial, maka dalam dirinya akan muncul empati, kesadaran, dan pelayanan.

4. Manajemen hubungan sosial – Kemampuan untuk menginspirasi, mempengaruhi, dan mengembangkan orang lain seraya pada saat yang bersamaan mengelola konflik.
Apabila seseorang telah memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengendalikan secara efektif emosionalnya, memanage dirinya sendiri, dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi, maka perlu satu langkah lagi, yaitu bagaimana memanage hubungan sosial yang telah berhasil dibangun agar dapat bertahan bahkan berkembang lebih baik lagi. Hal ini, yang disebut sebagai manajemen hubungan sosial. Jadi, manajemen hubungan sosial merupakan muara dari derajat kompetensi emosional dan intelegensi.

Dalam rangka memanage hubungan sosial tersebut, seseorang harus memiliki kemampuan sebagai inspirator, mempengaruhi orang lain, membangun kapasitas, katalisator perubahan, kemampuan memanage konflik dan mendorong kerjasama yang baik dengan orang lain atau masyarakat

Seseorang akan memiliki kecerdasan emosi yang berbeda-beda. Ada yang rendah, sedang maupun tinggi. Hapsari dikutip Casmini (2007) mengemukakan ciri-ciri kecerdasan emosi yang tinggi antara lain :
  1. Optimal dan selalu berpikir positif pada saat menangani situasi-situasi dalam hidup. Seperti menangani peristiwa dalam hidupnya dan menangani tekanan-tekanan masalah pribadi yang dihadapi.
  2. Terampil dalam membina emosi
    Terampil di dalam mengenali kesadaran emosi diri dan ekspresi emosi dan kesadaran emosi terhadap orang lain.
  3. Optimal pada kecakapan kecerdasan emosi meliputi: intensionalitas, kreativitas, ketangguhan, hubungan antar pribadi, ketidakpuasan konstruktif .
  4. Optimal pada emosi belas kasihan atau empati, intuisi, kepercayaaan, daya pribadi, dan integritas.
  5. Optimal pada kesehatan secara umum kualitas hidup dan kinerja yang optimal.
 Adapun ciri-ciri seseorang dikatakan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi apabila ia secara sosial mantap, mudah bergaul dan humoris/jenaka. Tidak mudah takut atau gelisah, mampu menyesuaikan diri dengan beban stres. Memiliki kemampuan besar untuk melibatkan diri dengan orang-orang atau permasalahan, untuk mengambil tanggung jawab dan memiliki pandangan moral. Kehidupan emosional mereka kaya, tetapi wajar, memiliki rasa nyaman terhadap diri sendiri, orang lain serta lingkungannya.

Seseorang dikatakan memiliki kecerdasan emosi rendah apabila seseorang tersebut tidak memiliki keseimbangan emosi, bersifat egois, berorientasi pada kepentingan sendiri. Tidak dapat menyesuaian diri dengan beban yang sedang dihadapi, selalu gelisah. Keegoisan menyebabkan seseorang kurang mampu bergaul dengan orang-orang disekitarnya. Tidak memiliki penguasaan diri, cenderung menjadi budak nafsu dan amarah. Mudah putus asa dan tenggelam dalam kemurungan.



Khususnya pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustasi, tidak mudah percaya pada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
http://www.kurzweilai.net/images/emotional-intelligence-two.png

Cara Meningkatkan Kecerdasan Emosional
Di bawah ini adalah 6 cara untuk meningkatkan kecerdasan emosional atau EQ (diramu dari berbagai sumber)
1.      Belajar mengenal emosi diri
Bertanya pada hati kita yang terdalam seperti apakah perasaan kita sesungguhnya. Apakah kita merupakan tipikal seorang pemarah, pemberani, penakut, pencemas, peragu atau pemalu dan sebagainya.
Ada beberapa emosi berbeda yang dapat kita alami namun seleruh emosi tersebut dapat digolongkan menjadi lima kategori besar, yaitu senang, sedih, marah, malu, dan takut. Kita dapat mengetahui pada saat apa dan bagaimana kita marah, sedih, marah, malu, takut, dan sebagainya. Dengan harapan bahwa setelah mengenal emosi diri, maka akan segera muncul kesadaran diri bahwa kita sedang merasakan perasaan sedih, senang, takut ataupun cemas.
Emosi sendiri bukanlah sesuatu yang buruk; kita semua memiliki emosi yang berbeda-beda. Hal yang amat penting adalah menganalisis dan memahami bagaimana emosi mempengaruhi kita dan bagaimana emosi mengubah perilaku dan tindakan kita. Orang-orang dengan keahlian kecerdasan emosional yang telah mapan mampu mengenali emosi dalam diri mereka dan dalam diri orang lain, dan menggunakan pengetahuannya ini dengan cara yang menguntukan dirinya.
2.      Belajar mengelola/mengekspresikan emosi
Perasaan marah, takut, cemas atau bahagia merupakan emosi yang wajar. Perasaan itu menjadi tidak wajar ketika kita mengekspresikannya secara berlebihan. Sebagai contoh, kita sangat mencemaskan suatu hal yang belum tentu terjadi. Contoh kasus yang kadang terjadi adalah saat mengikuti ujian microteaching pada TOT Calon Widyaiswara. Pada saat itu muncul perasaan cemas dan takut terutama saat menjelang tes dimana kita berhadapan dengan penguji yang ikut menentukan hasil kelulusan TOT tersebut. Perasaan-perasaan tersebut apabila tidak dikendalikan/dikelola dengan baik bisa menjadi suatu hambatan. Dengan melatih pengendalian/pengelolaan perasaan, niscaya dapat melalui tahap ujian/wawancara dengan baik.
Berbicara pada diri sendiri amatlah penting dalam hal ini. Kita dapat berbicara pada diri sendiri dalam skenario-skenario yang telah kita pilih dan melatih diri kita untuk berperilaku dan memberi tanggapan yang lebih baik. “Bila nanti ada penguji mengkritik, saya akan mendengarkan dengan tenang dan mencari sesuatu yang positif dan konstruktif dalam apa yang penguji katakan. Saya dapat belajar dari komentar-komentar penguji. Saya akan mengucapkan terima kasih pada penguji atas masukan-masukan yang diberikannya.”
3.      Belajar memotivasi diri
Memotivasi diri dapat membantu menumbuhkan semangat, percaya diri, ketekunan dan ketahanan mental. Memotivasi diri dilakukan agar terbiasa berpikir positif. Motivasi yang kuat akan menumbuhkan ketahanan mental yang kuat pula dalam menghadapi berbagai situasi sulit.
4.      Belajar mengenal emosi orang lain
Dengan mengenal emosi orang lain akan melatih cepat tanggap terhadap lawan bicara, dimana lawan bicara pada saat sedih, gembira, takut ataupun marah. Emosi dapat dikenali dari pesan-pesan non-verbal, melalui nada bicara, sorot mata, gerak-gerik tubuh, ekspresi wajah, dan sebagainya. Dengan terbiasa membaca pesan-pesan non-verbal memudahkan dalam bergaul. Untuk mengenali emosi orang lain diperlukan mengenali emosi diri sendiri. Semakin kita dapat mengenali emosi diri, semakin mudah mengenali emosi orang lain.
Banyak orang amat terikat dengan pikiran dan perasaannya sendiri sehingga mereka tidak lagi berkonsentrasi untuk mengamati orang lain baik-baik. Kuncinya disini adalah mendengarkan. Mendengarkan dengan baik membutuhkan konsentrasi yang mendalam untuk menangkap apa yang dikatakan orang lain dan mengamati bagaimana mereka mengatakannya. Setelah memahami apa yang dirasakn oleh orang lain, kita dapat menyesuaikan reaksi yang bergantung pada apa yang ingin kita capai.
5.      Belajar membina hubungan
Kecerdasan emosi juga berkaitan dengan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain. Adapun salah satu kuncinya adalah membuka hati untuk menerima kelebihan dan kelemahan orang lain. Perlu juga menjaga kode-kode rahasia hubungan sehingga tidak semua hal terutama yang berhubungan dengan privasi perlu diungkapkan.
Sebagian besar orang tidak bekerja berdasarkan logika, alasan, dan pemikiran yang rasional. Mereka bekerja berdasarkan emosi. Setelah memahami emosi orang lain, kita akan mampu membina hubungan dengan cara yang lebih baik.
6.      Belajar mengambil keputusan
Pengambilan keputusan merupakan aspek yang tidak dapat dihindari dari kehidupan. Kita mengambil keputusan hampir setiap saat. Meskipun kita tidak dapat mengontrol keputusan yang dibuat secara sadar dan tidak sadar setiap detik, ada beberapa keputusan besar dimana kita membutuhkan banyak pemikiran dan pertimbangan. Jadilah teliti dan cermat saat mengambil keputusan penting seperti itu karena sangat menentukan kita. Jangan impulsif dan menyesal kemudian hari. Sebaliknya, berhati-hatilah dan jangan biarkan emosi mengendalikan kita, bukan kita dikendalikan emosi kita. Dan pastikan keputusan yang kita ambil akan berubah menjadi kesuksesan nantinya.

Diperlukan pengendalian diri terhadap berbagai emosi, terutama saat emosi tersebut sedang berkecamuk. Bagaimana kita mengendalikan diri ketika marah, tidak terpuruk ketika merasa kecewa, mampu bangkit dari kesedihan, memotivasi diri untuk menghadapi tekanan, mengatur diri dari kemalasan, menetapkan target yang menantang namun tetap bersikap tenang, serta dapat menerima keberhasilan ataupun kegagalan dengan besar hati.
Kita dapat menjadi seorang pemikir yang sama hebatnya dengan orang lain apabila kita berlatih dan mengembangkan keahlian yang dimiliki saat ini sebagai bagian dari strategi pembelajaran seumur hidup. Lebih jauh lagi, akan menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan apabila kita mengembangkan keahlian berpikir sama menyenangkannya seperti baju baru yang akan dikenakan.

Referensi
Casmini. 2007. Emotional Parenting. Yogyakarta: Pilar Media.
Goleman, D. 2005. Emotional Intelligence. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 
http://www.republika.co.id/berita diakses tanggal 8 oktober 2017 
http://nationalgeographic.co.id diakses tanggal 8 oktober 2017 
Sloane, Paul. 2010. How to be a Brilliant Thinker: Latih Pikiran Anda dan Temukan Solusi-Solusi Kreatif. Alih Bahasa: Riga D. Ponziani. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates