"Saat
ini dunia pendidikan di Indonesia mengalami krisis kecerdasan emosional,"
kata Rahmawati Habie dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis
(5/10). (http://www.republika.co.id).
Pendapat
tersebut di dasari dari kasus kematian pelajar SMA Budi Luhur Bogor dalam duel
ala gladiator. Menurut Rahmawati, masalah yang terjadi sangat berhubungan
dengan kecerdasan emosional, yaitu kemampuan untuk mengontrol emosi dengan baik
dan berempati. Bila pengembangan kecerdasan emosional dilakukan dengan benar,
maka hal tersebut dapat membantu dan meningkatkan proses pembelajaran. "Siswa
yang memiliki kecerdasan emosi stabil, mampu mengendalikan amarah dan dapat
memecahkan masalah antarpribadi sehingga secara signifikan dapat mempengaruhi
prestasi belajar pada setiap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah,"
paparnya.
Sementara
itu, Pengamat Kebijakan Publik bidang Sosial Masyarakat dari Universitas
Indonesia, Sri Handiman Supyansuri mengatakan, kini banyak kalangan remaja dan
pemuda yang mengalami krisis pengendalian diri. Hal itu terjadi, akibat
minimnya pembelajaran tentang kecerdasan emosional yang diajarkan di sekolah. Menurut
Sri Handiman, sekolah saat ini cenderung hanya mengajarkan hal-hal yang sangat
standar terkait pendidikan, sehingga menyulitkan siswa untuk melihat serta
belajar tentang pengendalian diri. Di sisi lain, banyak keluarga yang kurang
peduli terhadap pendidikan emosional anak-anaknya sehingga tidak ada figur yang
bisa menjadi teladan anak dalam mengendalikan dirinya.
Kecerdasan
emosional pertama kali muncul dalam sebuah karya tulis Michael Beldoch pada
1964, dan pada 1966 dalam karya tulis B Leuner. Emotional intelligence (EI) atau emotional
quotient (EQ) didefinisikan sebagai kemampuan seseorang
mengendalikan emosi pada diri sendiri dan orang lain.
Seseorang
yang memiliki EQ baik atau tinggi dapat memisahkan berbagai emosi dan
menggunakannya sebagai bahan pemikiran juga perilaku diri sendiri. EQ dinilai
dapat memberikan keuntungan dalam bersikap, bahkan dalam berkarier.
Banyak
pengamatan menunjukkan bahwa orang-orang yang amat cerdas belum tentu memiliki
kecakapan dalam menangani orang lain dan perasaannya sendiri. Bahkan ini
merupakan satu alasan mengapa kecerdasan bukanlah faktor tunggal yang
menentukan keberhasilan. Penelitian bahkan mengungkap, 90 persen orang yang
berada di puncak kesuksesan terbukti memiliki kecedasan emosional yang tinggi (http://nationalgeographic.co.id). Hal
ini terjadi karena seseorang yang memiliki EQ tinggi adalah orang-orang yang
mampu mengatasi konflik.
Kecerdasan emosional tidak hanya
berfungsi untuk mengendalikan diri, tetapi lebih dari itu juga, mencerminkan
dalam mengelola ide, konsep, karya atau produk sehingga hal itu menjadi minat
bagi orang banyak. Kecerdasan emosional bekerja secara sinergis dengan keterampilan
kognitif. Tanpa kecerdasan emosional, orang tidak akan bisa menggunakan
kemampuan-kemampuan kognitif mereka sesuai dengan potensi maksimum.
Kecerdasan
emosional didefinisikan sebagai kemampuan untuk melihat, memahami, dan
mengelola emosi diri sendiri, emosi orang lain, dan emosi sekelompok orang (Paul
Sloane, 2010). Salovey dan Mayer menggambarkan kecerdasan emosional sebagai
kemampuan untuk merasakan emosi, mengintegrasikan emosi untuk memfasilitasi
pemikiran, memahami dan mengatur emosi untuk membantu perkembangan pribadi (Goleman,
2005).
Menurut teori Goleman tingkat kecerdasan emosional dapat dikelompokkan ke
dalam empat dimensi (Sloane, 2010), yaitu:
1. Kesadaran diri sendiri – Kemampuan untuk memahami emosi diri sendiri dan
mengenali dampaknya
Kemampuan seseorang
sangat tergantung kepada kesadaran dirinya sendiri, juga sangat tergantung
kepada pengendalian emosionalnya. Apabila seseorang dapat mengendalikan
emosinya dengan sebaik-baiknya, memanfaatkan mekanisme berpikir yang tersistem
dan kontruksi dalam otaknya, maka orang tersebut akan mampu mengendalikan
emosinya sendiri dan menilai kapasitas dirinya sendiri. Orang dengan kesadaran
diri yang tinggi, akan memahami betul tentang impian, tujuan, dan nilai yang
melandasi perilaku hidupnya.
Apabila seseorang telah
mengetahui akan dirinya sendiri, maka akan muncul pada dirinya kesadaran akan
emosinya sendiri, penilaian terhadap dirinya secara akurat, dan percaya akan
dirinya sendiri.
2. Pengelolaan diri sendiri – Kemampuan untuk mengendalikan emosi dan suasana
hati diri sendiri
Seseorang sebelum
mengetahui atau menguasai orang lain, ia harus terlebih dahulu mampu memimpin
atau menguasai dirinya sendiri. Orang tersebut harus tahu tingkat emosional,
keunggulan, dan kelemahan dirinya sendiri. Apabila tingkat emosional tidak
disadari, maka orang tersebut akan selalu bertindak mengikuti dinamika
emosinya. Manakala kebetulan resonansi yang dipancarkan dari amygdale-nya,
maka gelombang positif yang dapat ditangkap oleh orang lain secara efektif, dan
komunikasi pun dapat berjalan dengan baik. Tetapi manakala yang terpancar dari amygdale-nya
disonansi, maka yang dapat ditangkap oleh orang lain hanyalah kemarahan dan
emosional yang tak terkendali, akhirnya komunikasi tidak berjalan dengan baik.
Untuk menciptakan
tingkat kompetensi pengelolaan diri sendiri yang tinggi, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan, yaitu pengontrolan terhadap diri sendiri, transparansi,
penyesuaian diri, pencapaian prestasi, inisiatif, dan optimistis.
3. Kesadaran sosial – Kemampuan untuk melihat dan memahami emosi orang lain
Sebagai makhluk sosial,
kita harus dan selalu berhubungan dan bergesekan dengan orang lain, baik dalam
lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat, karena kita tidak akan dapat
hidup sendiri tanpa orang lain.
Oleh karena itu, semua
orang harus memiliki kesadaran sosial, dan apabila seseorang telah mempunyai
kesadaran sosial, maka dalam dirinya akan muncul empati, kesadaran, dan
pelayanan.
4. Manajemen hubungan sosial – Kemampuan untuk menginspirasi, mempengaruhi,
dan mengembangkan orang lain seraya pada saat yang bersamaan mengelola konflik.
Apabila seseorang telah
memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengendalikan secara efektif emosionalnya,
memanage dirinya sendiri, dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi, maka perlu
satu langkah lagi, yaitu bagaimana memanage hubungan sosial yang telah berhasil
dibangun agar dapat bertahan bahkan berkembang lebih baik lagi. Hal ini, yang
disebut sebagai manajemen hubungan sosial. Jadi, manajemen hubungan sosial
merupakan muara dari derajat kompetensi emosional dan intelegensi.
Dalam rangka memanage
hubungan sosial tersebut, seseorang harus memiliki kemampuan sebagai
inspirator, mempengaruhi orang lain, membangun kapasitas, katalisator
perubahan, kemampuan memanage konflik dan mendorong kerjasama yang baik dengan
orang lain atau masyarakat
Seseorang
akan memiliki kecerdasan emosi yang berbeda-beda. Ada yang rendah, sedang
maupun tinggi. Hapsari dikutip Casmini (2007) mengemukakan ciri-ciri kecerdasan
emosi yang tinggi antara lain :
- Optimal dan selalu berpikir positif pada saat menangani situasi-situasi dalam hidup. Seperti menangani peristiwa dalam hidupnya dan menangani tekanan-tekanan masalah pribadi yang dihadapi.
- Terampil
dalam membina emosi
Terampil di dalam mengenali kesadaran emosi diri dan ekspresi emosi dan kesadaran emosi terhadap orang lain. - Optimal pada kecakapan kecerdasan emosi meliputi: intensionalitas, kreativitas, ketangguhan, hubungan antar pribadi, ketidakpuasan konstruktif .
- Optimal pada emosi belas kasihan atau empati, intuisi, kepercayaaan, daya pribadi, dan integritas.
- Optimal pada kesehatan secara umum kualitas hidup dan kinerja yang optimal.
Adapun
ciri-ciri seseorang dikatakan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi apabila ia
secara sosial mantap, mudah bergaul dan humoris/jenaka. Tidak mudah takut atau
gelisah, mampu menyesuaikan diri dengan beban stres. Memiliki kemampuan besar
untuk melibatkan diri dengan orang-orang atau permasalahan, untuk mengambil
tanggung jawab dan memiliki pandangan moral. Kehidupan emosional mereka kaya,
tetapi wajar, memiliki rasa nyaman terhadap diri sendiri, orang lain serta lingkungannya.
Seseorang
dikatakan memiliki kecerdasan emosi rendah apabila seseorang tersebut tidak
memiliki keseimbangan emosi, bersifat egois, berorientasi pada kepentingan
sendiri. Tidak dapat menyesuaian diri dengan beban yang sedang dihadapi, selalu
gelisah. Keegoisan menyebabkan seseorang kurang mampu bergaul dengan
orang-orang disekitarnya. Tidak memiliki penguasaan diri, cenderung menjadi
budak nafsu dan amarah. Mudah putus asa dan tenggelam dalam kemurungan.
Khususnya pada orang-orang yang
murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa
gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan
dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara
tepat. Bila didukung dengan rendahnnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka
orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas,
bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka
cenderung akan terlihat sebagai orang keras kepala, sulit bergaul, mudah
frustasi, tidak mudah percaya pada orang lain, tidak peka dengan kondisi
lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya,
dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki
kecerdasan emosional yang tinggi.
Cara
Meningkatkan Kecerdasan Emosional
Di bawah ini adalah 6 cara untuk meningkatkan
kecerdasan emosional atau EQ (diramu dari berbagai sumber)
1. Belajar
mengenal emosi diri
Bertanya pada hati kita yang
terdalam seperti apakah perasaan kita sesungguhnya. Apakah kita merupakan
tipikal seorang pemarah, pemberani, penakut, pencemas, peragu atau pemalu dan
sebagainya.
Ada beberapa emosi berbeda yang
dapat kita alami namun seleruh emosi tersebut dapat digolongkan menjadi lima
kategori besar, yaitu senang, sedih, marah, malu, dan takut. Kita dapat
mengetahui pada saat apa dan bagaimana kita marah, sedih, marah, malu, takut,
dan sebagainya. Dengan harapan bahwa setelah mengenal emosi diri, maka akan
segera muncul kesadaran diri bahwa kita sedang merasakan perasaan sedih, senang,
takut ataupun cemas.
Emosi sendiri bukanlah sesuatu yang
buruk; kita semua memiliki emosi yang berbeda-beda. Hal yang amat penting
adalah menganalisis dan memahami bagaimana emosi mempengaruhi kita dan
bagaimana emosi mengubah perilaku dan tindakan kita. Orang-orang dengan
keahlian kecerdasan emosional yang telah mapan mampu mengenali emosi dalam diri
mereka dan dalam diri orang lain, dan menggunakan pengetahuannya ini dengan
cara yang menguntukan dirinya.
2. Belajar
mengelola/mengekspresikan emosi
Perasaan marah, takut, cemas atau
bahagia merupakan emosi yang wajar. Perasaan itu menjadi tidak wajar ketika kita
mengekspresikannya secara berlebihan. Sebagai contoh, kita sangat mencemaskan
suatu hal yang belum tentu terjadi. Contoh kasus yang kadang terjadi adalah
saat mengikuti ujian microteaching pada TOT Calon Widyaiswara. Pada saat
itu muncul perasaan cemas dan takut terutama saat menjelang tes dimana kita
berhadapan dengan penguji yang ikut menentukan hasil kelulusan TOT tersebut.
Perasaan-perasaan tersebut apabila tidak dikendalikan/dikelola dengan baik bisa
menjadi suatu hambatan. Dengan melatih pengendalian/pengelolaan perasaan,
niscaya dapat melalui tahap ujian/wawancara dengan baik.
Berbicara pada diri sendiri amatlah
penting dalam hal ini. Kita dapat berbicara pada diri sendiri dalam
skenario-skenario yang telah kita pilih dan melatih diri kita untuk berperilaku
dan memberi tanggapan yang lebih baik. “Bila nanti ada penguji mengkritik, saya
akan mendengarkan dengan tenang dan mencari sesuatu yang positif dan
konstruktif dalam apa yang penguji katakan. Saya dapat belajar dari
komentar-komentar penguji. Saya akan mengucapkan terima kasih pada penguji atas
masukan-masukan yang diberikannya.”
3. Belajar
memotivasi diri
Memotivasi diri dapat membantu menumbuhkan
semangat, percaya diri, ketekunan dan ketahanan mental. Memotivasi diri
dilakukan agar terbiasa berpikir positif. Motivasi yang kuat akan menumbuhkan
ketahanan mental yang kuat pula dalam menghadapi berbagai situasi sulit.
4. Belajar
mengenal emosi orang lain
Dengan mengenal emosi orang lain
akan melatih cepat tanggap terhadap lawan bicara, dimana lawan bicara pada saat
sedih, gembira, takut ataupun marah. Emosi dapat dikenali dari pesan-pesan
non-verbal, melalui nada bicara, sorot mata, gerak-gerik tubuh, ekspresi wajah,
dan sebagainya. Dengan terbiasa membaca pesan-pesan non-verbal memudahkan dalam
bergaul. Untuk mengenali emosi orang lain diperlukan mengenali emosi diri
sendiri. Semakin kita dapat mengenali emosi diri, semakin mudah mengenali emosi
orang lain.
Banyak orang amat terikat dengan
pikiran dan perasaannya sendiri sehingga mereka tidak lagi berkonsentrasi untuk
mengamati orang lain baik-baik. Kuncinya disini adalah mendengarkan.
Mendengarkan dengan baik membutuhkan konsentrasi yang mendalam untuk menangkap
apa yang dikatakan orang lain dan mengamati bagaimana mereka mengatakannya.
Setelah memahami apa yang dirasakn oleh orang lain, kita dapat menyesuaikan
reaksi yang bergantung pada apa yang ingin kita capai.
5. Belajar
membina hubungan
Kecerdasan emosi juga berkaitan
dengan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain. Adapun salah satu
kuncinya adalah membuka hati untuk menerima kelebihan dan kelemahan orang lain.
Perlu juga menjaga kode-kode rahasia hubungan sehingga tidak semua hal terutama
yang berhubungan dengan privasi perlu diungkapkan.
Sebagian besar orang tidak bekerja
berdasarkan logika, alasan, dan pemikiran yang rasional. Mereka bekerja
berdasarkan emosi. Setelah memahami emosi orang lain, kita akan mampu membina
hubungan dengan cara yang lebih baik.
6. Belajar
mengambil keputusan
Pengambilan keputusan merupakan
aspek yang tidak dapat dihindari dari kehidupan. Kita mengambil keputusan
hampir setiap saat. Meskipun kita tidak dapat mengontrol keputusan yang dibuat
secara sadar dan tidak sadar setiap detik, ada beberapa keputusan besar dimana kita
membutuhkan banyak pemikiran dan pertimbangan. Jadilah teliti dan cermat saat
mengambil keputusan penting seperti itu karena sangat menentukan kita. Jangan
impulsif dan menyesal kemudian hari. Sebaliknya, berhati-hatilah dan jangan
biarkan emosi mengendalikan kita, bukan kita dikendalikan emosi kita. Dan
pastikan keputusan yang kita ambil akan berubah menjadi kesuksesan nantinya.
Diperlukan pengendalian diri
terhadap berbagai emosi, terutama saat emosi tersebut sedang berkecamuk.
Bagaimana kita mengendalikan diri ketika marah, tidak terpuruk ketika merasa
kecewa, mampu bangkit dari kesedihan, memotivasi diri untuk menghadapi tekanan,
mengatur diri dari kemalasan, menetapkan target yang menantang namun tetap
bersikap tenang, serta dapat menerima keberhasilan ataupun kegagalan dengan
besar hati.
Kita dapat menjadi seorang pemikir yang sama hebatnya
dengan orang lain apabila kita berlatih dan mengembangkan keahlian yang
dimiliki saat ini sebagai bagian dari strategi pembelajaran seumur hidup. Lebih
jauh lagi, akan menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan apabila kita
mengembangkan keahlian berpikir sama menyenangkannya seperti baju baru yang
akan dikenakan.
Referensi
Casmini. 2007. Emotional
Parenting. Yogyakarta: Pilar Media.
Goleman, D. 2005. Emotional Intelligence. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
http://www.republika.co.id/berita diakses tanggal 8 oktober 2017
http://nationalgeographic.co.id diakses tanggal 8 oktober 2017
Sloane, Paul. 2010. How to be a Brilliant Thinker: Latih Pikiran Anda dan Temukan Solusi-Solusi Kreatif. Alih Bahasa: Riga D. Ponziani. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, D. 2005. Emotional Intelligence. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
http://www.republika.co.id/berita diakses tanggal 8 oktober 2017
http://nationalgeographic.co.id diakses tanggal 8 oktober 2017
Sloane, Paul. 2010. How to be a Brilliant Thinker: Latih Pikiran Anda dan Temukan Solusi-Solusi Kreatif. Alih Bahasa: Riga D. Ponziani. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar